Selasa, 17 Desember 2013

I Want to Hear Your Voice



Dibuka dengan kisah seorang perawat bernama Kanako, yang suatu hari bertemu dengan pasien cilik bernama Kengo, yang kedua orang tuanya tuna rungu.

Dokter yang menangani anak tersebut tidak merasa perlu menjelaskan lewat tulisan karena menganggap sudah cukup dengan menjelaskannya pada kakek-nenek anak itu. Kanako yang tidak senang dengan diskriminasi tersebut tetap berusaha menjelaskan tentang penyakit yang diderita Kengo dengan menggunakan bahasa isyarat. Dari situ, Kanako kemudian mengetahui bahwa selama ini Kengo dan Miho, adik perempuannya tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua mereka.

Terlahir dari orang tua yang tuna rungu, itulah kondisi Kanoko, si pencerita dalam buku ini. Walau banyak kesulitan, berkat nenek yang selalu mendampingi keluarga mereka, Kanako tumbuh dengan sehat. Namun, seiring pertumbuhannya, Kanoko mulai merasakan ketidaknyamanan akan kondisi orang tuanya. Hal ini pertama dirasakan olehnya ketika masuk taman bermain. Namun, Kanako tetap merasa bahagia, karena kedua orang tuanya selalu memahami keinginannya.

Ujian terbesar bagi keluarga Kanako mungkin dimulai ketika masa SD. Kanako mulai merasa malu akibat ejekan teman-temannya tentang orang tuanya. Kesedihan itu berkembang jadi ketidak puasan yang ditimpakan pada orang tuanya. Sempat terjadi gesekan-gesekan dalam keluarga, namun, sekali lagi, keberadaan nenek membuat Kanako paham bahwa cinta orang tuanya tidak terganggu sebagaimana indera mereka, dan bahwa kedua orang tuanya tidak pernah berharap untuk terlahir demikian.

Ditulis dengan gaya bercerita yang sederhana, namun mampu menggambarkan dengan sangat mengharukan, bagaimana kehidupan seorang anak, mulai dari terlahir hingga dewasa dan memutuskan untuk menjadi perawat yang memihak orang-orang dengan keterbatasan yang sering kali dipandang rendah oleh dokter, yang seharusnya melayani masyarakat yang membutuhkan.

Namun buku ini tidak lantas menjadikan mereka sebagai pihak yang ‘jahat’, namun lebih ke arah ‘betapa orang-orang mudah sekali melupakan mereka yang kurang beruntung’, serta betapa mudahnya jika kita memang ingin saling memahami, tanpa dihalangi oleh kekurangan kita.